Cika Indonesia
Client Sign In

News

Wednesday, 20 Apr 2016 - 15:42:42
foto: waskita.co.id CIKANEWS/kolom Berkat Yang Tepat   Direktur Utama PT Waskita Karya (Persero) Tbk M. Choliq menyadari hal itu. Dia masih ingat bahwa 4 tahun lalu posisi Waskita Karya jauh berada di belakang kompetitor. "Tahun 2012 kami masih underdog. Namun sekarang kami nomor satu," kata Choliq.   Choliq patut berbangga. Realisasi laba yang dibukukan perusahaan pada 2015 sebesar Rp 1 triliun bisa dibilang spektakuler. Belum lagi jika memasukkan variabel equity book value dan market value. Choliq mengatakan equity book value Waskita Karya per hari ini Rp 10 triliun, sementara market value-nya. Rp 30 triliun. Angka tersebut membuat Waskita unggul jauh dibandingkan dengan kompetitor.   "Waskita Karya saat ini menempati posisi pertama, baik secara equity book value maupun market value,"ujarnya. Sebagai perbandingan, equity book value kompetitor lain Rp 5 triliun, sementara market value-nya Rp 17-18 triliun.   Aset Waskita juga tumbuh signifikan. Tahun lalu, aset perusahaan tersebut tumbuh dari Rp 12 triliun menjadi Rp 30 triliun. Sedangkan tahun ini ditargetkan tumbuh menjadi Rp 45 triliun dan pada akhir 2018 aset yang dimiliki tidak kurang dari Rp 80 triliun dengan laba Rp 6 triliun. Diakui Choliq, kinerja spektakuler tidak lepas dari strategi yang digunakan. "Dalam bisnis, strategi tidak bisa instan. Jadi apa yang dicapai Waskita pada 2015 tidak lepas dari strategi yang dicanangkan perusahaan pada 2013, yakni saat Waskita mengembangkan diri," ucap Choliq.   Bisnis Waskita 100 persen berpusat pada bisnis kontraktor, sejak 2013 dikembangkan empat bisnis baru. Pertama sebagai pengembang jalan tol. Sampai akhir 2018, Waskita akan menyelesaikan pembangunan 14 ruas jalan tol dengan total panjang 750 kilometer. Sebanyak 90 persen dari 14 ruas jalan tol tersebut berada di Pulau Jawa, sisanya di Pulau Sumatera.   Filosofi Golf   Sampai saat ini M. Choliq sudah 8 tahun memimpin PT Waskita Karya (Persero) Tbk. Sesuai dengan ketentuan undang-undang, pria kelahiran Gresik, 12 Desember 1952 ini, masih akan memimpin Waskita Karya untuk 2 tahun ke depan.   Sejauh ini, Choliq bersyukur atas pencapaian yang berhasil diraih Waskita. "Pencapaian yang berhasil diraih tetap harus disyukuri dan tidak boleh sombong. Di dunia ini, kita tentu ingin meraih capaian-capaian yang membanggakan sebagai bagian dari aktualisasi diri kita. Prinsipnya, kita harus optimistis memandang hidup, bukan sebaliknya, pesimistis," ucapnya.   Tentang sikap optimis dalam memandang hidup, Choliq punya contoh menarik. Dia menggunakan pendekatan permainan golf. Menurut dia, orang bermain golf itu hams berfokus pada hole, bukan bunker ataupun kolam yang menjadi halangan.    "Kalau orang yang pesimistis dan penakut, yang selalu dilihat halangannya bukan holenya. Sebaliknya, orang yang optimistis, apapun halangannya, akan melihat pada hole yang dituju. Itu filosofi golf," tutur Choliq yang bermain golf seminggu sekali di Senayan.   (MAL) Dikutip dari: Koran Tempo, 19 April 2016, hal. 3
Friday, 19 Feb 2016 - 09:59:29
foto: twitter @aheryawan Kolom Mas Leman Dialog publik Kereta Cepat Jakarta-Bandung digelar hari ini, Jumat (19/2) di kota paris Van java. Dialog dengan mengambil tema “Geliat Kota Baru, Dorong Pertumbuhan Ekonomi Jawa Barat” yang diselenggarakan oleh PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) ini dihadiri tokoh-tokoh sosial, politik, ekonomi, budaya, dan lingkungan dari Jawa Barat.   Dialog yang digelar di Grand Royal Panghegar Hotel Bandung ini akan menampilkan pembicara antara lain Menteri BUMN Rini Soemarno, Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan, Ahli Transportasi dari ITB Ir Harun al-Rasyid Lubis, MSc, PH.D dan Direktur Utama KCIC Hanggoro Budi Wiryawan. Dialog ini pada intinya ingin mendapat masukan dari para tokoh di Jabar dalam rangka pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Bandung.   Jawa Barat yang merupakan daerah penyangga ibukota DKI Jakarta, kini merupakan provinsi yang paling lengkap memiliki infrastruktur. Tak berlebihan bila di provinsi yang memiliki banyak kawasan industri, dengan adanya kereta cepat akan banyak diserbu investor untuk membenamkan modalnya.   Apalagi, dengan adanya kota baru, menyusul pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung, tentu akan menjadi daya tarik tersendiri bagi investor untuk mengembangkan bisnis di Jabar, hingga bisa memacu pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, dan membuat Jabar sebagai provinsi terdepan dalam menyumbang Produk Domestik Bruto (PDB) nasional terdepan.  Anda dapat mengomentari artikel ini di kolom Kompasiana Mas Leman 19 Februari 2016.  
Tuesday, 16 Feb 2016 - 11:52:53
foto: liputan6.com CIKANEWS/kolom - Tahun 2003, lima tahun setelah pemerintah membentuk Kementerian BUMN, keluarlah Undang-undang (UU) Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Presidennya adalah Ibu Megawati Soekarno Putri, Menteri Perindustrian Rini Soemarno, Menteri hukumnya (saat itu bernama Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia) Prof. Yusril Izha Mahendra, dan Menteri BUMN kala itu Ir. Laksamana Sukardi. Yang menarik perhatian saya adalah suasana saat itu di kalangan pejabat-pejabat kementerian teknis (Kemenhub, PU, Kehutanan, Pertanian dll) yang 'marah besar'. “Kalau begini undang-undangnya, berarti negara berbisnis,“ begitu umpat mereka.   Harap maklum, berkat UU itu BUMN sudah sepenuhnya lepas dari kendali birokrat. BUMN yang tadinya  'alat' bagi birokrat, kini sepenuhnya berada di bawah kementerian BUMN. Sebaliknya, wajah pendiri Kementerian BUMN, Tantri Abeng Sumringah. Ia sudah lama merindukan BUMN yang mandiri, yang mampu memberi kontribusi besar bagi negara sebagai  value creator.   Apa yang baru dalam UU itu?   Pertama, jelas disebut dalam pasal 1 (10), modal negara yang dipakai dalam BUMN adalah kekayaan Negara yang dipisahkan. Kedua, dalam pasal 2, tujuan pendirian BUMN adalah (a) Memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional dan penerimaan Negara, (b) Mengejar Keuntungan.   Pasal-pasal itu jelas ada di halaman depan, paling atas. Jadi siapapun yang membacanya pasti akan segera paham BUMN sudah berubah. Ia bukan lagi kementerian teknis yang boleh sesuka hati bekerja tanpa memikirkan untung/rugi, risiko, dan kontribusi bagi negara.   Dengan demikian BUMN ditugaskan untuk mencari keuntungan, yang setiap akhir tahun dividennya pasti ditagih oleh negara untuk menambal kekurangan pendapatan dari pajak. Seperti akhir tahun lalu, siapa sih yang menambal kekurangan pendapatan pajak? Saya kira jelas, BUMN yang melakukan revaluasi aset.   Kemudian 13 tahun kemudian yaitu 2016, keributan ini kita alami. Padahal orang-orangnya masih sama, malah makin berkuasa. Tiba-tiba semua ribut, meributkan mengapa BUMN membangun kereta cepat. Kenapa ini dan itu. Pasal tuduhannya juga berlapis-lapis membuat publik bingung.         Padahal semua orang tahu, pendapatan pajak kita tengah mengalami stagnasi, sulit ditingkatkan. Negara dalam keadaan gawat, dan kita harus lebih cerdik mencari pemasukan bagi negara.  Mereka juga tahu pertumbuhan ekonomi kita melambat, ancaman pengangguran begitu besar.   Alih-alih bersatu, mereka malah saling bertengkar, melarang pemerintah mencari sumber-sumber baru untuk menggerakan perekonomian.  Kereta cepat yang dibangun tanpa APBN itu terus digunjingkan.   Lapangan pekerjaaan yang mau diciptakan, kalau bisa tidak menjadi kenyataan. BUMN pun dicaci seakan-akan bakal dicaplok China. PMA yang masuk pun kita buat ragu, ketidakpastian diciptakan lewat `perang mulut`. Bukan data akademik yang dipakai melainkan saling-silang opini.   Selamat datang kerumitan dan ketidakpastian!   Beda paradigma-beda ucapan   Dari kementerian teknis kita membaca betapa paradigma lama masih terjadi. Pertama kementerian teknis adalah kementerian yang tugasnya menghabiskan anggaran negara. Dalam soal infrastruktur, kementerian teknis tidak mungkin memakai uang sumbangan swasta, apalagi modal asing.   Dalam pembangunan transportasi publik, ia hanya berpikir point-to-point.  Kementerian BUMN pada sisi lain, harus berpikir keekonomian dan keuntungan. Sudah pasti yang ia cari adalah 'pasar yang gemuk'. Dan modalnya boleh patungan, berasal dari asing atau mitra domestik.   Dengan bekal UU Nomor 19 Tahun 2003 itulah KA cepat dibangun, melalui konsorsium 4 BUMN (WIKA, Jasa Marga, PT Perkebunan, dan PT Kereta Api Indonesia) bersama konsorsium Tiongkok (yang dipimpin China Railway International Co.).   Jadi ini adalah PMA dan mereka membentuk PT Baru: PT Kereta Cepat Indonesia-China (KCIC). Untuk apalagi tujuannya, kalau tidak menjalankan UU BUMN tadi, mengejar keuntungan. Seperti layaknya sebuah PT, tanggung jawabnya tentu terbatas pada penyertaan modal masing-masing.   Nah menarik sekali diamati beda perspektif itu begitu kuat karena masing-masing kementerian memegang UU-nya sendiri. Kementerian BUMN punya UU, demikian pula Kementerian Perhubungan (tentang KA) dan Kementerian LH/Kehutanan.   Tetapi layaknya sebuah organisasi besar, semua harus tunduk pada konstitusi dan tentu saja pada Visi besar Presiden. Anda mungkin masih ingat ucapan Presiden di awal terbentuknya kabinet: Tidak ada Visi kementerian, yang ada hanya satu visi, visi Presiden.   Itu baru perspektif antar menteri. Belum lagi perspektif para konsultan yang dibiayai oleh dua pihak yang bersaing (China atau Jepang) yang muncul sebagai pengamat. Atau persoektif Jepang yang mau kita bermacet tia membeli otomotif sebanyak-banyaknya, atau perspektif Tiongkok yang ingin menjalin sejarah jalan Sutra.   Kalau perspektif para politisi, ya kita sudah mengertilah. Selain rivalitas, kualitas masing-masing politikus memang amat beragam: ada yang mampu dan mau membaca UU dan ada yang malas dan asal bunyi. Itu sudah biasa kita dengar sebagai bumbu penyedap tontonan.   Mengapa cepat-cepat?   Saya mulanya juga bingung, kok di era Jokowi ini semua berlangsung cepat. Jalan- jalan tol yang mangkrak tiba-tiba sudah dibuka.   Jalan tol Becak Kayu (Bekasi-Cawang-Kp Melayu) yang mangkrak sejak 1998, kini sudah diambil alih dan dibangun BUMN Waskita Karya. Jalan Tol Cipali diresmikan sebelum Hari Raya Idul Fitri. Waduk-waduk baru diresmikan berturut-turut. Semua itu dilakukan via BUMN.   Tetapi memahami kondisi ekonomi yang melambat dan ancaman pengangguran dewasa ini, saya agak bisa paham.  Ia tidak sibuk menghancurkan pikiran atau program pendahulunya, malahan ia buat jadi kenyataan. Jadi pastinya lebih mudah.   Hanya saja, syarat ini harus dipenuhi: luluhkan para pemburu rente. Percepat cara kerja birokrasi dan hindari pekerjaan yang spekulatif, yaitu pembebasan tanah. Karena itulah dipakai tanah yang sudah ada. Miliknya negara.   Sama seperti saat Amerika Serikat dilanda resesi, presidennya selalu menggerakkan pembangunan infrastruktur. Selain besar manfaatnya, lapangan pekerjaan pun bisa digerakkan. Bahkan bila perlu, mereka mengambil hutang. Bukankah di masa krisis itu modal dan harga barang-barang modal sedang murah?   Kita juga perlu belajar membedakan antara bad debt (utang untuk berfoya-foya, konsumsi) dengan good debt (utang untuk investasi). Dan yang namanya hutang investasi tadi, mustahil dikucurkan investor kalau business plannya tidak jelas, tidak menguntungkan.   Apalagi sekarang BUMN-BUMN  kita sudah dilengkapi dengan komite-komite risiko dan komite audit. Sulit rasanya untuk membodoh-bodohi mereka.   Lantas dari mana sumber pendapatannya?   Lagi-lagi kita mendengar ucapan mereka yang menganut perspektif  kementerian teknis. Harga tiket kemahalan, rakyat tak mampu bayar Rp 200 ribu. Nanti kalau rugi bagaimana? “Sudah kami hitung tidak untung.”   Sekali lagi, itu adalah perspektif kementerian teknis. Point to point, no value creation, bukan hitungan bisnis.   Seorang direktur BUMN anggota konsorsium mengatakan, “kalau hitungannya (bisnisnya) kaya begitu, kami juga tak mau masuk.” Mereka benar! Uang tiket saja tidak menguntungkan. Semua orang tahu public transportation harus disubsidi negara. Di situlah perlunya kalkulasi bisnis.   Dan hitungan itu adalah value creation yang didapat dari kegiatan koridor ekonomi di 4 TOD (Halim, Karawang, Walini, dan Tegal luar-Bandung). Di situ akan dibangun perumahan, rusun untuk para pekerja, Rumah Sakit, Universitas, dan sebagainya.   Kalau Lippo saja bisa meraup untung di Karawaci dan Cikarang, apa mungkin di kawasan yang lebih besar dan lebih accessible mereka masih rugi? Itulah hebatnya konglomerat mengendus bisnis yang terjadi karena bodohnya kita mengelola kekayaan negara yang sudah dipisahkan tadi.   Lalu benarkah Rp 200 ribu sudah kemahalan?   Saya ingin mengajak Anda melihat penghasilan kita 4 tahun dari sekarang saat KA Cepat itu diresmikan. Mungkin anda sudah punya penghasilan satu setengah kali lipat dari sekarang. Lalu tengoklah berapa harga tiket masuk Dufan–Ancol hari ini. Benar! Hari ini tarifnya sudah Rp 250 ribu dan ramai sekali.   Lalu apakah rakyat diuntungkan?   Saya ingin mengajak anda merenungi tiga hal ini. Pertama, kalau lapangan kerja tidak diciptakan, apakah rakyat diuntungkan? Proyek ini jelas ditujukan untuk menciptakan pekerjaan.   Kedua, kalau jalan tol Jakarta-Bandung yang sudah padat ini dibiarkan tetap padat dan macet, apakah rakyat kecil diuntungkan? Bukankah harga tiket bis bisa dinaikkan karena biaya bahan bakar mereka juga meningkat?   Ketiga, kalau kereta cepat lebih dulu dibangun oleh konsorsium Singapore-Malaysia untuk menghubungkan kedua Negara, apa Anda pikir turis-turis kita tidak berjejal di negeri jiran itu?   Mari kita renungkan dengan jernih dan jauhkan dari cara berpikir rivalitas yang menjauhkan kita dari rakyat. Jalan tol sudah terlalu padat, jangan berpura-pura tidak tahu. Kita sudah hidup dalam gempuran urbanisasi.   Dan kalau alternatifnya tak dibangun segera, kita akan mati berdiri di tengah-tengah kemacetan lalu lintas, mati diterpa krisis yang kita buat sendiri.   Penulis   Prof. Rhenald Kasali Kolom diambil dari liputan6.com
Wednesday, 03 Feb 2016 - 16:12:32
Foto: Merdeka.com Kolom Mas Leman CIKANEWS - Untuk mempercepat pembangunan infrastruktur, Presiden Joko Widodo tak hanya memerintahkan para menterinya untuk melaksanakan pembangunan infrastruktur mulai di awal tahun. Untuk memastikan pelaksanaan proyek ini, ia tak segan-segan memberikan pengarahan langsung kepada para kontraktor agar segera melaksanakan pekerjaan, setelah menandatangani kontrak. Tidak boleh ada waktu jeda. Soal biaya pemerintah sudah menyiapkan. Seperti, ketika Menteri Perhubungan Ignasius Jonan menggelar penandatanganan kontrak 12 proyek strategis senilai Rp 2,07 triliun dari total 273 paket kegiatan senilai Rp 14,24 triliun pada pertengahan Januari lalu. Presiden menyisihkan waktunya untuk datang ke Kementerian Perhubungan. Selain menyaksikan penandatanganan tersebut, Jokowi tentu menginginkan agar proyek yang sudah ditandatangani bisa langsung dikerjakan. Hal serupa tak hanya ditunjukkan oleh Jokowi terhadap proyek infrastruktur yang didanai oleh pemerintah melalui APBN. Terhadap proyek infrastruktur yang didanai oleh swasta, Jokowi juga memberlakukan hal yang sama. Proyek pemerintah dan proyek swasta sebaiknya bisa berjalan seiring di awal tahun, agar bisa menjadi pengungkit pertumbuhan ekonomi, di tengah melemahnya harga komoditas, khususnya harga minyak dunia. Sinergi antara pemerintah dan swasta bisa menjadi solusi bagi perekonomian nasional. Tak heran, kalau Jokowi di awal tahun ini juga melakukan groundbreaking kereta cepat Jakarta-Bandung yang dikerjakan oleh konsorsium BUMN. Ia bersama dengan Ny. Iriana turun langsung menyusuri lumpur Walini, Jawa Barat, agar proyek yang investasinya US$ 5,5 miliar juga bisa segera dikerjakan. Dalam groundbreaking tersebut banyak pejabat dari pemerintah pusat dan daerah yang hadir. Justru yang tak hadir dalam event tersebut Menteri Perhubungan Ignasius Jonan, yang sesungguhnya menjadi penanggung jawab teknis pembangunan kereta cepat Jakarta-bandung. Dari informasi, Jonan tidak hadir karena ingin menyelesaikan izin pembangunan kereta cepat tersebut. Cuma yang menjadi masalah, sejak groundbreaking sampai dengan awal Februari, izin pembangunan kereta cepat itu juga tidak muncul juga. Tentu disini kita tidak ingin mencampuri kapan izin pembangunan itu mau dikeluarkan oleh Menteri Perhubungan. Hanya saja ketika kritik publik terus membara pasca groundbreaking, Kementerian Perhubungan, tidak mencoba menetralisir, tetapi justru malah ikut mengipasi. Proyek yang tidak didanai APBN dan tak mendapat jaminan dari pemerintah, justru dalam pengurusan izin konsesi KCIC dituduh oleh Kementerian Perhubungan meminta jaminan dari pemerintah. Mereka melukiskan, kalau proyek ini gagal, maka konsorsium meminta pemerintah untuk memberikan ganti rugi. Tentu saja tuduhan semacam itu ditepis oleh KCIC. Pihaknya menyadari bahwa proyek ini 100% didanai oleh swasta, dan tidak ada jaminan dari pemerintah. Namun karena proyek ini membutuhkan investasi yang besar, mereka meminta adanya jaminan kepastian hukum dalam masa konsesi, bila terjadi perubahan peraturan dan peundang-undangan hingga membuat proyek ini dihentikan (cut off) . Bila proyek ini gagal karena disebabkan oleh pemrakarsa (konsorsium), tentu KCIC tak akan meminta ganti rugi, karena itu sebagai konsekuensi bisnis. Namun, kalau proyek ini gagal karena perubahan peraturan dan kebijakan, seperti misalnya perubahan kebijakan moneter yang mewajibkan seluruh proyek pada masa kontruksi dan operasional dihentikan, tentu pemerintah harus bertanggung jawab. KCIC menuntut kepastian hukum semacam itu harus dituangkan dalam perjanjian konsesi, karena itu lumrah terjadi dalam bisnis internasional. Permintaan kepastian hukum ini tentu bukanlah mengada-ada, karena sudah banyak referensi dalam bisnis kontraktual, seperti di pelabuhan Kali Baru, proyek kereta api swasta di Kalimantan yang melibatkan Rusia, dan konsesi untuk jalan tol. Kalau dalam proyek tersebut bisa mendapatkan kepastian hukum, kenapa untuk kereta cepat di permasalahkan. Setelah beberapa hari kepastian hukum ini menjadi alat bagi kelompok-kelompok yang tidak setuju kereta cepat untuk membonsai KCIC, Jonan tampaknya mulai berubah. Justru tanpa diperhitungkan banyak pihak sebaliknya, Jonan memberi hak ekslusif kepada proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Hak eksklusif itu, Pertama, trase kereta cepat tidak boleh dimasuki kereta lain. Kedua, pemerintah memang tidak memberikan jaminan dalam kaitan APBN, tetapi pemerintah akan memberikan jaminan kepastian hukum dalan pengerjaan dan operasional kereta cepat selama masa konsesi. Ketiga, pemerintah memberikan konsesi kererta cepat Jakarta-Bandung selama 50 tahun. Dengan pemberian hak ekslusif yang akan tertuang dalam perjanjian konsesi kereta cepat, tentu Kementerian Perhubungan tinggal mengeluarkan izin pembangunan kereta cepat. Izin pembangunan dari Kementerian Perhubungan ini masih ditunggu, karena KCIC sebagai pemrakarsa belum akan memulai membangun kereta cepat kalau izinnya belum lengkap. Sikap ini diambil, karena KCIC dalam mengerjakan proyek ini akan taat terhadap ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia. Izin pembangunan sebagaimana diungkapkan oleh Jonan itu bukanlah masalah administrasi tetapi masalah analisisis teknis. Tentu saja semua pihak setuju dengan aturan semacam itu. Hanya saja sebagai bagian dari kebijakaan nasional izin pembangunan kereta cepat sebaiknya tidak berdiri sendiri. Akan lebih bijak bila izin pembangunan itu juga diselaraskan dengan kebijakan presiden Dikeluarkannya Perpres Nomor 107 tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasaranan dan Sarana Kereta cepat antara Jakarta dan Bandung, dan Perpres Nomor 3 tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional, tentulah dimaksudkan untuk mengakselerasi pembangunan infrastruktur strategis. Akselerasi ini dibutuhkan tak hanya dimaksudkan agar pembangunan infrastruktur itu bisa diselesaikan sesuai dengan target waktu yang ditetapkan, tetapi ada yang lebih fundamental, pembangunan infrastruktur diharapkan bisa menstimulus perekonomian nasional, di tengah merosotnya harga komoditas, khusunya harga minyak dunia. Masalahnya kalau hak eksklusif sudah diberikan dan izin untuk membangun kereta cepat masih digantung, bagaimana mungkin proyek kereta cepat itu bisa segera menciptakan lapangan kerja, dan menstimulus perekonomian nasional. Barangkali inilah izin pembangunan tidak cukup hanya ditempatkan dalam perpektif administrasi dan analisis teknis saja, tetapi dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara juga terkait dengan upaya untuk memberikan kehidupan bagi rakyatnya. Dalam konteks pembangunan nasional, keluarnya hak eksklusif kereta cepat dalam izin konsesi. Ibarat orang ujian, Jonan baru lulus mid semester dari Jokowi. Ia baru akan lulus ujian akhir, kalau memang sudah mengeluarkan izin pembangunan kereta cepat. Inilah ujian yang akan ikut menentukan perjalanan bangsa dalam konteks yang lebih besar. Anda dapat mengomentari artikel ini di kolom Kompasiana Mas Leman 2 Februari 2016.    
Tuesday, 26 Jan 2016 - 16:20:20
foto: CNN Indonesia Kolom Mas Leman CIKANEWS - Kemacetan itu nyaris seperti di tol Cipularang menjelang perayaan Natal 2015. Hanya bedanya, kemacetan itu terjadi di atas gumpalan tanah lumpur perkebunan teh Walini, Jawa Barat, untuk menuju lokasi groundbreaking kereta cepat Jakarta-Bandung. Setidaknya 4 s/d 5 Km kemacetan mobil-mobil mewah yang membawa para pejabat dan tamu undangan. Kemacetan di tengah kebun teh menjadi tontonan menarik bagi warga di sekitar Cikalong Wetan yang juga ingin menyaksikan awal pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung. Groundbreaking kereta cepat Jakarta-Bandung memang diadakan di tengah kebun teh Walini. Di tempat groundbreaking itu nantinya akan dibangun Transit Oriented Development (TOD). Di atas perbukitan itu sudah mulai nampak peralatan berat eksavator, sejumlah truk, dan peralatan berat lainnya yang mulai meratakan tanah untuk dimulainya jaringan kereta cepat. Di hamparan kebun teh itu, Presiden dan Ibu Iriana Joko Widodo, mengenakan sepatu boot dan helm proyek menyusuri tanah berlumpur untuk menyaksikan awal dimulainya pembangunan konstruksi kereta cepat, setelah sebelumnya menekan tombol untuk menandai groundbreaking proyek infrastruktur tersebut. Sebagai presiden yang selalu ada di hati rakyat, Jokowi tak segan-segan menyapa dan memberikan buku tulis kepada anak-anak yang menyaksikan prosesi tersebut. Bagi Jokowi, melihat langsung pengerjaan proyek dalam groundbreaking merupakan masalah subtansial. Ia tidak ingin seperti beberapa kasus sebelumnya dalam kasus pembangunan jalan Manado-Bitung di Sulawesi Utara sepanjang 39 Km, begitu ia resmikan langsung mangkrak. Pembangunan jalan dengan investasi Rp 11 triliun itu terhenti, karena masih adanya berbagai persyaratan yang belum tuntas. Jokowi bukanlah Presiden yang hobi groundbreaking infrastruktur. Sebagai presiden yang di tahun 2016 mencanangkan tahun percepatan infrastruktur, menginginkan baik infrastruktur yang dibiayai oleh APBN maupun swasta dan BUMN harus dimulai pada awal tahun. Selain untuk mengejar target waktu penyelesaian pekerjaan, juga untuk mestimulus pertumbuhan ekonomi sebagaimana ditarget 5,5 s/d 6%. Dengan makin banyaknya infrastruktur yang dibangun akan semakin banyak uang yang diserap dan beredar di masyarakat untuk menggerakkan perekonomian nasional. Dengan pembangunan infrastruktur, peredaran uang tak hanya akan menunpuk di Jakarta, tetapi juga di daerah-daerah. Tak berlebihan bila Jokowi meminta untuk pengerjaan infrastruktur di daerah menggunakan kontraktor lokal. Atau kalau yang mengerjakan kontraktor nasional, untuk subkontraktornya adalah kontraktor lokal. Hal ini ditempuh Jokowi, agar uang lebih banyak beredar di daerah. Bukan beredar sebentar di daerah kemudian ditarik lagi ke Jakarta. Di sinilah terlihat pembangunan infrastruktur bukanlah dimaksudkan untuk menggejar pertumbuhan semata, tetapi juga untuk pemerataan pembangunan. Jokowi, mempunyai obesi untuk menurunkan indeks gini yang kini sudah mencapai 0,413 jauh di atas angka pada era Orde Baru 0,305. Jokowi menginginkan pertumbunan ekonomi yang lebih 50% disumbang oleh Pulau Jawa, harus mulai diratakan ke luar Jawa. Bila sumbangan Papua terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) hanya 2,25%, NTT (2,5%), Sulawesi (4,8%), Kalimantan (8,8%) dan Sumatera (23,8%), di era pemerintahannya sumbangan Luar Jawa terhadap PDB bisa seimbang dengan pulau Jawa. Untuk mengejar pertumbuhan dan pemerataan pembangunan, Jokowi tentu tak hanya melakukan groundbreaking. Di bulan Januari ini saja, ia memonitor langsung penandatanganan kontrak pembangunan infrastruktur yang sudah ditender sejak akhir 2015 di Kementerian PUPR dan Kementerian Perhubungan. Ia juga sudah sidak untuk pengerjaan Bandara Kertajati, Jawa Barat. Tentu sidak pembangunan infrastruktur ini justru yang akan lebih banyak dilakukan oleh Jokowi, sebagaimana dengan tahun 2015, telah mengunjungi pembangunan kereta api di Sulawesi Selatan, mengunjungi calon pelabuhan perikanan di Papua dan sejumlah pulaua lainnya. Bahkan untuk memastikan pembangunan infrastruktur di Papua, Jokowi akan berkunjung ke Papua minimal 3 kali dalam setahun. Untuk menggenjot pembangunan infrastruktur, Presiden Jokowi telah meningkatkan biaya infrastruktur dari APBN sebesar 8% menjadi Rp 313,5 triliun. Jumlah tersebut memang terlalu jauh dengan kebutuhan pembangunan infrastruktur selama lima tahun (2014-2019) sebesar US$ 55,5 miliar (Rp 7.540 triliun). Untuk itu Jokowi juga melibatkan swasta dan BUMN untuk ikut membangun infrastruktur. BUMN yang pada 2016 memiliki aset 6.240 triliun sangat potensial untuk ikut membangun infrastruktur. Tahun 2015 saja misalnya BUMN mengalokasikan anggaran untuk membangun infrastruktur sebesar Rp 245,30 triliun untuk menangani 86 proyek strategis. Jumlah tersebut kemudian ditingkatkan secara signifikan pada 2016 sebesar Rp 281 triliun untuk menangani 121 proyek strategis, termasuk di dalamnya Kereta cepat Jakarta-Bandung yang investasinya sekitar Rp 76 triliun. Tentu Jokowi sangat bersemangat menyaksikan awal pengerjaan kereta cepat, sekalipun ia bersama Ibu Negara harus menaklukkan hamparan lumpur di Walini. Setidaknya, ia menyaksikan langsung keseriusan konsorsium BUMN dalam mengerjakan kereta cepat Jakarta-Bandung. Bahkan ia juga melihat ada upaya keras dari BUMN untuk melakukan transformasi bisnisnya. Untuk pengerjaan proyek kereta cepat dengan skema Business to Business (B to B) merefleksikan sikap entrepreneurship di tubuh BUMN dalam menjalankan bisnisnya. Dalam pengerjaan proyek sebesar Rp 76 triliun ini, 25% berasal dari ekuitas (modal sendiri) dari konsorsium dan pinjaman 75%. Namun dengan modal sendiri dan pinjaman, banyak value yang mereka dapat dari proyek ini. PT Wijaya Karya sebagai pemegang saham terbesar konsorsium Indonesia, memang harus menyetor modal sendiri dan melakukan pinjaman. Namun dalam kereta cepat BUMN ini melalui anak usahanya bisa mendapatkan proyek pengerjaan konstruksi hingga Rp 17 triliun. Begitu pula, PTPN VIII, yang asetnya di Walini kurang produktif, bisa dioptimalkan untuk membangun kota baru. Begitu pula bagi PT Jasa Marga Tbk dan PT Kereta Api Indonesia (KAI), dengan adanya kereta cepat bisa melakukan diversifikasi bisnisnya ke kereta berteknologi tinggi. Sementara dari aspek finansial, memang dengan proyek tersebut harus ada utang yang harus dibayar dalam waktu 40 tahun. Pembayarannya melalui angsuran secara bertahap, sehingga tidak terlalu memberatkan apalagi ada grass period selama 10 tahun. Setahun s/d lima tahun beroperasi bisa saja konsorsium langsung menangguk keuntungan tiap tahunnya. Bagaimana mau bangkrut, belum membangun kereta cepat saja tawaran untuk membangun infrastruktur berbasis kereta mulai masuk ke KCIC. Seperti untuk membangun kereta ringan (LRT) di Bandung Raya juga sudah mulai ditawarkan kepada KCIC. Bahkan untuk mengoperasionalkan kereta cepat di Saudi Arabia juga mulai ditawarkan kepada konsorsium ini. KCIC milik konsorsium ini ke depannya bisa menjdi bisnis unggulan BUMN untuk menangguk keuntungan. Itu gambaran linear, jika terjadi resiko, misalnya tak mampu bayar utang apakah BUMN akan bangkrut? Tentu saja tidak. Karena dalam setiap bisnis apapun ada mitigasi resikonya. Untuk menghadapi resiko kecelakaan dan bencana, ada asurasi yang bisa memberikan ganti rugi. Kalau ada fluktuasi dolar dan yuan terhadap utang kepada Bank Pembangunan China ada hedging (lindung nilai) dan kalau utang tak bisa dibaryar ada mekanisme restrukturisasi utang. Memang ada utang yang bikin bangkrut, seperti di Yunani untuk Negara dan Merpati untuk perusahaan. Tapi bagi Indonesia, sudah biasa merestrukturisasi utang, hingga Negara dan swasta terbebas dari kebangkrutan. Ketika pemerintah Orde Lama meninggalkan utang hingga nyaris membuat Negara bangkrut, Presiden Soeharto merestrukturisasi utang dan membayarnya sampai lunas. Begitu pula ketika Pemerintah Orde Baru terhimpit utang karena adanya fluktuasi dolar terhadap rupiah dari Rp 2.000 menjadi Rp 15.000, utang Indonesia terhadap IMF sebesar US$ 23 miliar, bisa direstrukturisasi dan di jamannya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bisa dilunasi. Di sektor swasta, juga pernah dilakukan oleh kelomok usaha Bakrie. Ketika terjadi krisis ekonomi 1998, Bakrie memiliki utang hingga US$ 1 miliar (Rp 10 triliun). Ia sudah mendatangi 200 bank dan lembaga keuangan dunia, tak ada satu pun yang bisa membantu. Beruntunglah ARB dan Nirwan Bakrie menemukan teknik restrukturisasi, hingga utangnya lunas dan usahanya dalam waktu relatif singkat bisa kembali pulih dan ARB pernah menjadi orang terkaya di Asia. Hal yang sama juga terjadi bagi pemerintah Indonesia, dengan restrukturisasi utang IMF, sekala ekonomi Indonesia kini sudah 10 kali lipat bila dibanding dengan tahun 1999. Jadi tak perlu ada yang disangsikan oleh konsorsium BUMN bila terjadi resiko utang atau resiko lainnya. Secara korporasi banyak mitigasi resiko yang mereka persiapkan untuk tetap bisa menekan resiko dan bisnisnya tumbuh secara maksimal. Tak pelak jika Jokowi yang memiliki latar belakang sebagai pengusaha, begitu bersemangat menyusuri tanah berlumpur di kawasan Walini untuk melihat dimulainya pembangunan kereta cepat. Kereta cepat Jakarta-Bandung yang dibangun dengan B to B juga diproyeksikan akan banyak penumpangnya, karena kereta ini juga dibutuhkan oleh masyarakat. Dari hasil penelitian Lembaga Afiliasi Penelitian dan Industri (LAPI) ITB, setiap hari terdapat 144.000 penumpang yang laju Jakarta-Bandung yang menggunakan kereta api, mobil pribadi dan travel. Jumlah itu tidak termasuk pelaju yang mengunakan angkutan bis ekonomi. Dari hasil penelitian dari 144.000 pelaju tersebut, 21% memastikan akan naik kereta cepat dan 39% mempertimbangkan naik kereta cepat. Itu artinya sebanyak 60% pelaju menyambut keberadaan kereta cepat. Berdasarkan hasil penelitian tersebut LAPI menghitung pada 2019 akan ada 55.000 yang naik kereta cepat Jakarta-Bandung. Semangat Jokowi menyusuri lumpur Walini untuk meresmikan pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung, seperti semangatnya para pendahulu Republik ini, yang dengan segala resiko berani menghadapinya dengan ketulusan dan keikhlasan unuk menggoreskan sebuah karya yang akan dikenang oleh para penerus bangsa. Bung Karno ketika ingin membangun Monas, dan Pak harto ingin membangun Taman Mini Indonesia Indah (TMII), protes juga terjadi di mana-mana. Tapi kedua pemimpin bangsa yang memiliki visi ke depan untuk terus mewujudkan mimpinya, agar menjadi kebanggaan nasional. Dan kini kehadiran Monas dan Taman Mini, tak perlu dibantah lagi menjadi kebanggaan nasional. Orang datang ke Jakarta, kalau belum melihat Monas dan Taman Mini, rasanya belum melihat Indonesia. Hal yang sama dengan Pak Harto ketika membangun Jalan Tol Jagorawi, memang sempat menjadi pro-kontra. Namun ketika jalan itu sudah terbangun, menjadi tempat studi banding negara-negara di Asia. Cuma masalahnya, ketika Malaysia dan China belajar jalan tol Jagorawi, kini sudah bisa membangun jalan tol untuk Malaysia 5.000 Km dan China 85 ribu Km, tapi Indonesia kini justru belum sampai 1.000 Km Inilah tampaknya yang ingin dilakukan Jokowi, dalam membangun kereta cepat Jakarta-Bandung. Ia ingin menjadikan Indonesia merupakan yang pertama membangun kereta cepat di ASEAN. Hanya saja setelah kereta cepat Jakarta-Bandung mulai dibangun, kiranya sudah mulai dipikirkan untuk meneruskan Bandung-Surabaya, agar Indonesia nasibnya tidak seperti jalan tol, meskipun kini sudah mulai digeber oleh Jokowi Semangat Jokowi terlihat sekali ketika ingin meninggalkan Walini. Rompi dan helm yang ia kenakan tetap ia bawa masuk ke mobil untuk meninggalkan lokasi menuju ke Istana Negara. Barulah setelah di dalam mobil dingatkan oleh ajudan untuk melepaskan helm yang ia kenakan, dari mobil Jokowi dengan tersenyum menyerahkan helm tersebut dengan kedua tangannya, seakan untuk memberikan pesan agar mempercepat penyelesaian kereta cepat Jakarta-Bandung. Anda dapat mengomentari artikel ini di kolom Kompasiana Mas Leman 25 Januari 2016.
Get social & share cika-indonesia.com

Call us (021) 7591 5993

Please call us at office time 08.00 - 17.00 Monday - Friday

Cika-indonesia.com - Copyright © 2025 All rights reserved.